Asmi Dewi; Sebuah Nama Puitis yang Menghilang
“Itu gara-gara ketemu tulisan entah siapa di koran, katanya belum disebut jurnalis kalau belum menembus Kompas dan belum bisa disebut sastrawan jika belum menembus Horison. Lantas saya kirim ke Horison. Alhamdulillah tulisan pertama langsung tembus”.
Mungkin tulisan yang dimaksud olehnya ialah esai Darman Moenir. Darman menyinggung standarisasi dan kebermutuan karya sastra ditakar berdasarkan berhasil atau tidaknya pengarang dalam “menaklukkan” Jakarta sebagai pusat dalam arena sastra nasional. Mereka yang karya-karyanya belum menembus Horison atau Kompas, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atau Taman Ismail Marzuki (TIM), dipandang sebagai pengarang kelas tiga dan belum berhak disebut sastrawan dan dinyatakan tidak pantas “duduk semeja” dengan para pengarang kelas satu yang di masa Orde Baru disebut sastrawan nasional.
Percakapan seseorang pada bagian pembuka dalam tulisan ini adalah dengan penulis berbakat perempuan asal Sumbawa bernama Asmi Dewi. Canggihnya beberapa karyanya tercantum di majalah sastra Horison. Cerpen dan puisinya selain pernah tersiar di koran-koran, juga dibukukan bersama para penyair. Jauh sebelum namanya melenggang menghiasi majalah terkemuka itu, di masa-masa ia sempat mengabadikan dunia percintaannya yang penuh gairah. Tak dipungkiri sekian sajak tercipta untuk sang kekasih pujaan. Sebagaimana diketahui bahwa musim bercinta adalah musim meranum puisi-puisinya. Caranya membahasakan cinta begitu romantik menggemaskan. Kita bisa menelisik pada puisi Layar Terkembang yang terbit di harian Bali Post, 15 Februari 1998. Kapalku merapat sisi/danau hilang warna/dingin menunggu rindu basi//esok pagi yang dini/angin menggoda menggemuruh/tualangku panjang/kupasrahkan pada ombak liar/yang menyeret nasibku kembali/hingga kedalaman yang entah!//dan aku terus hanyut/tanpa ada yang menjamin/kepergian itu untuk kembali//Kau di hulu nyalakan lentera/sepanjang puncak ubun-ubun/agar terbaca lukisan rindu di keningmu//. Puisi tersebut terbagi ke dalam 4 bait, menggunakan kata-kata konkret seperti “danau, ombak, lentera” yang dirakit dalam ungkapan majazi. Pada bait akhir dirangkai dengan bentuk metafora, teratur mengalun dan berkesinambungan. Asmi hendak menyampaikan hubungan kedua insan yang agaknya terpisah oleh jarak, dan sejauh itu ada rindu terbentang. Gejolak asmara ini masih terasa pada puisinya yang lain, terbit di majalah sastra Horison edisi XXXIX/11/2004. Bayanganmu mengabur di seberang/bilik kosong/merenda puisi tak putus-putus/bagi orkestra cinta kita//. Ia begitu energik menuangkan sepilihan kata, sehingga terasa kuat. Bait akhir ia mengharapkan sebuah kelahiran yang ia terjemahkan dalam kalimat aku percaya pada tubuhmu/menjelma ruang sempurna/untuk menyemai benih-benih//.
Asmi Dewi dalam puisi-puisinya lebih banyak membicarakan kodrat sebagai perempuan. Ia yang dianugerahi rahim, acapkali menjadikan puisi sebagai doa. Pada awal mula kepenulisannya seringkali kita menemukan larik-larik pengharapan, mendambakan buah hati. Tampak jelas berulangkali kita membacanya di Horison, dalam sajaknya yang berjudul Permintaan dengan gamblang ia berujar mataku telaga amat teduh/lihatlah, ceruknya yang dalam/indah untuk menyimpan janin-janin//mari dekap nafsuku/hirup amis rahimku/sudah saatnya kita menimba satu kelahiran//. Bertalian dengan Platonis (dimuat di majalah sastra Horison edisi XLII/2/2008, ia mengungkapkan aku menyimpanmu sebagai rahasia kecil di tempat lembab/yang hanya dikenal oleh darah dan plasenta//. Barangkali diawal tahun tersebut ia masih mengandung anak pertamanya, sebab pada bulan Oktober 2008 ia baru melahirkan. Setelah itu ia menulis sajak-sajak mengenai peran dan harapannya sebagai ibu. Ia secara cerdik merangkum kehidupan perempuan dengan bakatnya. Kita dapat memeriksanya pada Semangkuk Cinta Ibu; bukan dari merica atau sinar matahari pagi yang jauh di dinding dapur/bukan pula dari api kompor yang biru mendayu/pun pokok cemara di halaman/daunnya yang rindang/gagal mengalahkan kehangatannya//jari lentik ibu telah meraciknya bersama do’a-do’a/dan nyanyian tanpa keluh//sup hangat di hari yang dingin adalah obat untuk hati yang sunyi/memakannya dengan riang menerbitkan bintang di mata ibu//.
Puisinya diatas terhimpun dalam buku Perempuan Langit 3, larik-lariknya sedikit reflektif, ia seperti hendak memberitahu pekerjaan seorang ibu melahirkan, mengajarkan banyak hal, melindungi dari bahaya, mengurusi anak dengan sabar penuh kasih sayang menasehati agar menjadi orang yang sukses di masa depan, dan hanya hal itulah yang diinginkan oleh seorang ibu: untuk melihat anaknya tumbuh dewasa menjadi orang yang sukses, bahagia, dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Sajak tersebut begitu sederhana tapi berkelindan makna. Hanya dari kebiasaan menyiapkan menu kesukaan sang anak yakni sup, mampu digubahnya menjadi semangkuk cinta kepada kedua putrinya. Dari sini kita bisa menangkap untuk mencipta sebuah puisi yang bagus tidak perlu bermodal ide pikiran dan tendensi besar.
Tidak sedikit karya-karyanya yang berbobot. Menariknya seorang perempuan dari pulau kecil nan jauh di Timur Indonesia ini, Sumbawa. Tiba-tiba puisi-puisinya terpajang di majalah sastra tersohor yang menjadi idaman para penulis. Beberapa sajak terbaiknya menunjukkan bahwa ia telah berjalan jauh ke depan, perihal ini hanya bisa dicapai dengan bakat, kreatifitas, dan intelektualitas. Asmi Dewi mampu keluar dari bayang-bayang sastrawan gaek Dien Rayes asal Sumbawa, seperti banyak menjangkiti calon-calon penulis muda Sumbawa. “Saya menulis puisi-kan gak sengaja gara-gara bertemu Dea Papin Dien Rayes. Kata beliau, tulislah puisi, jangan cerpen remaja. Sebab dunia kesusasteraan Indonesia akan mencatat namamu jika menulis puisi”.
Sastrawan yang berasal dari Nusa Tenggara Barat cukup banyak. Beberapa nama yang eksis yaitu; Putu Arya Tirtawirya (almarhum), I Dewa Rai Oka (almarhum), H. Badrun (almarhum), H. Dinullah Rayes, Prof. Nurachman Hanafi, Jero Anang Zubaidi Soemerep, Sulaiman Saleh, Putu Sugih Arta, Riyanto Rabbah, Kongso Sukoco, Imtihan Taufan, R. Eko Wahono, Kiki Sulistyo, Wayan Sukarta Bagiad, Sindhu Putra. Mereka sastrawan NTB yang dikenal luas. Karya mereka menunjukkan ciri-ciri tertentu yang mencerminkan penemuan mereka terhadap idiom, tema penokohan, dan latar yang khas NTB. Lantas saya terpikat dengan salah satu sajak Asmi Dewi yang terasa pulen termaktub dalam buku Dari Takhalli Sampai Temaram. Sebuah antologi berisi puisi-puisi lintas generasi penyair NTB. Sebanyak 22 penyair NTB didata dan dikumpulkan puisi-puisinya oleh Komunitas Akar Pohon dan Dewan Kesenian NTB untuk diarsipkan, sekaligus sebagai rekam jejak penyair NTB dalam beberapa kurun waktu terakhir.
Sumbawa, Kota Kecil Itu
kubiarkan sejenak rindu menganak sungai di jiwaku
meluapkan banjir hingga daratan basah
rumah-rumah telah oleng dalam kecemasan
anak-anak berlarian menyelamatkan cintanya :
kuda pejantan bersurai mengkilap yang selalu dirindukan ibu menjadi menantu
bukit tempatku menapak, gundukan tanah humus
dan mineral yang pekat
memercikkan emas dan tembaga ke langit
yang menampungnya menjadi dzikir lembut
bumi pun terlelap
bermilyar-milyar nektar berhamburan
dari hutan berpohon rapat
lebah menggeliat dalam pesta tak berakhir
napasnya adalah harum keringat lelaki perkasa
seperti rusa bertanduk rimbun yang kerap menghiasi rukuk padi di pematang
atmosfir, hangat itu, Sumbawa
selalu atas nama keajaiban
dongeng Tanjung Menangis mengirimku pulang kepada gadis-gadisnya yang setia
menuang madu dalam sebilah senyumnya.
Seketika lokalitas Sumbawa meliputi kita, Asmi Dewi benar-benar mengangkat lanskap alam tempatnya diasuh. Tidak mengherankan apabila pada sajak tersebut alam menjadi sumber ilham bagi kerja kreatifnya. Ia menuntun kita memasuki Kota Sumbawa yang kecil itu, dengan bebas imaji kita berpetualang. Asmi seperti hendak memperkenalkan kepada kita latar Sumbawa, ia menyebut; kuda pejantan, mineral yang pekat, emas, tembaga, lebah, rusa bertanduk, dongeng Tanjung Menangis, madu.
Sebagaimana kita ketahui bersama Sumbawa sejak dulu masyhur dengan susu kuda liar, permainan masyarakat balap jaran (Pacuan Kuda), dijuluki tanah intan bulaeng (tanah emas permata) disana terdapat Amman Mineral Internasional (AMMAN) sebuah perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar kedua di Indonesia, rusa bertanduk menjadi lambang dari Kab. Sumbawa. Ia mencoba menceritakan legenda rakyat Sumbawa Tanjung Menangis, dan menganggap bahwa perempuan-perempuan Sumbawa itu setia. Konon cinta putri kerajaan dengan masyarakat biasa asal Ujung Pandang tidak direstui oleh ayahnya sang raja, dan diusir dari Pulau Sumbawa dipulangkan ke daerah asalnya Makasar. Putri raja karena begitu setianya mengejar tambatan hatinya sampai ke ujung tanjung. Seperti makanan penutup, Asmi Dewi menggaungkan manis madu asli Sumbawa.
Membaca karya Asmi Dewi kita menemukan endapan muatan-muatan kultural masyarakat tempat pengarang menulis karyanya. Ia dan karya-karya sulit dilepaskan dari realitas kultur masyarakat Sumbawa sebagai lokus bagi puisi-puisinya. Banyak unsur yang memengaruhi intensi pengarang, seperti lingkungan alam dan budaya. Dalam perspektif sosiologis, unsur yang memengaruhi mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, budaya, dan agama. Hal tersebut mengubah cara pandang seseorang terhadap realitas, yang menjadi perspektif etika sekaligus estetika dalam berkarya sastra.
Asmi Dewi sosok penyair perempuan pertama Sumbawa yang potensial! Sejauh ini, dari teropong pengamatan saya di Sumbawa belum ada yang bisa melampaui karya-karya Asmi Dewi. Entah mengapa sampai hari ini ia tidak produktif. Mungkin dikarenakan kesibukannya sebagai ibu yang sekian lama diimpikan, pekerjaannya di perusahaan tambang yang menyita hampir separuh hidupnya telah membuat ia tak lagi memiliki banyak waktu. Barangkali pada hakikatnya perempuan seharusnya lebih banyak menghasilkan puisi, tersebab selalu melibatkan perasaan dalam prosesnya. Asmi Dewi, sayang sekali ia tak bergelut lagi sebagai pengrajin kata. Rindu sekali karya-karyanya yang bernas dan berisi. Sebuah nama yang puitis itu tiba-tiba menghilang.