Esai Joko Pinurbo dan Semesta Bahasa Kita
“…/Masih terngiang denting gelas, /lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. /Semuanya tinggal gemerincing rindu /yang perlahan tapi pasti meleburkan diri /ke dalam telpon genggamnya, menjadi /sistem sepi yang tak akan habis diurainya /….”
-dalam puisi, “Telepon Genggam” karangan Joko Pinurbo, Telepon Genggam (Basabasi, 2017)
Bahasa adalah gugusan kenangan yang terus berhamburan. Oleh sebab itu, pengrajin dalam hal ini pengarang, memungutnya dengan sukacita. Kenangan pendek atau panjang dari hidup menjadi bahan produksi untuk menyemai produk kreatifnya: puisi atau prosa. Bagi saya, produk kreatif pengarang erat kaitannya dengan beragam persoalan sekitar.
Karya sastra adalah karya yang mencerminkan pikiran manusia dan diungkapkan dalam bentuk kata atau gambar (Sumarjo & Saini, 1986) dan seorang pengarang umumnya bersandar pada hal tersebut. Khususnya seorang penyair, seperti Joko Pinurbo dalam buku puisinya yang berjudul Telepon Genggam (Basabasi, 2017), menurut saya, menggunakan bahasa khas juga artistik.
Pada hakikatnya, secara garis besar, Joko Pinurbo, seorang pengarang yang berangkat dari tumpukan ironi dengan bungkusan gaya bahasa jenaka, banal, dan main-main dalam menggarap kerja kreatifnya. Misalnya, kalau saya boleh menyebut, dalam kumpulan puisi Celana (1999) yang mengantarnya memperoleh hadiah Anugerah Sastra Lontar tahun 2001. Dalam kumpulan tersebut, Joko Pinurbo menggarap Celana bukan hanya sebagai objek, tetapi subjek yang dibebani ironi-ironi.
Sapardi dalam satu kesempatan mengungkap, bahwa benda-benda—seperti celana, telepon genggam, kaleng Khong Guan, dan lainnya)—yang disebutkan/dipakai dalam puisi-puisi Joko Pinurbo merupakan lambang-lambang yang membentuk sistem perlambangan tertentu yang erat sekali hubungannya dengan alam bawah sadar. Sederhananya, dunia bahasa yang digunakan Joko Pinurbo sebagai alat perlambangan terwujud dalam benda yang sering kali disepelekan.
Upaya tersebut akan menjadi gaya berpuisi baru yang khas Joko Pinurbo ketika dia menggunakan medium komedi dan tragedi. Dua medium ini akan berhasil ketika menggunakan alur yang bergerak. Sebab Joko Pinurbo, nyaris dalam setiap puisinya, menyemai peristiwa-peristiwa yang diakhiri dengan konklusi yang tragis.
“…//Apa yang sedang ia bayangkan? /Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil /pulang dari main laying-layang /di padang lapang dan mendapatkan /rumahnya sudah kosong dan lengang. /Hanya terdengar suara burung berkicau /bersahutan di rerindang ranting dan dahan. /Hanya ada seorang anak perempuan kecil, /dengan raut rindu dan binar bisu, /sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar /yang ingin memeluknya dalam haru, /mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: /pohon hayat yang tak terlihat waktu.” (2002/2002)
-Bait terakhir puisi berjudul, “Telepon Genggam”, dalam buku Telepon Genggam (Basabasi, 2017)
Konklusi tragis yang dipergunakan Joko Pinurbo dalam puisi berjudul “Telpon Genggam” dapat kita rasakan pada bait terakhir ini. Betapa tokoh “anak lelaki kecil” menemukan rumahnya sudah kosong dan lengang. Ia, dalam imaji Joko Pinurbo, hanya menemukan seorang anak perempuan kecil yang menunggu. Menunggu dengan keinginan memeluk dalam haru.
Kita dapat mengaitkan perlambangan Joko Pinurbo dalam bait terakhir ini terhadap masalah sosial kita. Misalnya, nasib anak kecil Palestina yang menjadi korban agresi militer tentara zionis Israel. Mereka kehilangan tempat bersandar (orang tua atau keluarga) dan melihat sesama korban perang sebagai saudara atau dalam perang saudara di Timor Timur. Dalam beragam persoalan kemanusiaan dunia, malah tokoh dalam puisi tersebut hanya memfokuskan diri pada telepon genggam tanpa memerhati kemanusiaan sekitar. Seolah ia adalah kita semua. Di situ letak kritik puisi Joko Pinurbo bermuara.
Ignas Kleden pernah menganggap puisi Joko Pinurbo berporos pada gerak, “pada penyair Joko Pinurbo, seluruh kehidupan manusia, politik, sosial-budaya, ekonomi, dan religius, tidak diterjemahkan ke dalam gerak-gerik alam, tetapi ke dalam gerak-gerik badan, yaitu apa yang dikenal sebagai body language.” Sebab Joko Pinurbo tidak betul-betul mengandalkan kiasan, namun membuat semesta ironi untuk diselami dan dipelajari pembaca.
Joko Pinurbo dan Semesta Bahasa Kita
Bahasa puisi Joko Pinurbo adalah semesta bahasa kita. Seperti juga Sapardi Djoko Damono, menggunakan bahasa sehari-hari yang gampang dicerna oleh masyarakat awam sekalipun. Upaya ini memiliki dua kegunaan strategis. Pertama, untuk menghilangkan anggapan bahwa puisi yang baik, harus menggunakan bahwa yang jarang dimengerti dan dipakai. Kedua, meski puisi sebagaimana karya lain adalah barang sakral, tetapi dapat menggunakan bahasa sehari-hari yang bahkan terkesan main-main. Misalnya, saya ambil contoh sebagai berikut.
“…//Setiap subuh ibu itu memungut embun /di daun, menampungnya dalam gelas, /dan menghidangkannya kepada anak-anaknya /sebelum mereka berangkat sekolah. /malam hari diam-diam ia memetik air mata, /menyimpannya dalam botol. Meminumkannya /kepada anak-anaknya bila mereka sakit/…”
-dalam puisi, “Ibu yang Tabah”, hlm. 37.
Joko Pinurbo tetap tekun menggunakan bahasa sehari-hari yang gampang dimengerti dalam puisinya sehingga pembaca merasa dapat gampang menyelam dalam dunia rekaan yang diciptakannya sendiri. Upaya Joko Pinurbo yang jenaka dan sederhana lebih membangkitkan empati pembaca.
Artinya, upaya Joko Pinurbo dalam perpuisian tanah air berhasil memenangkan hati masyarakat bahasa, tanpa mengecualikan Sapardi Djoko Damono yang telah terlebih dahulu melakukan hal serupa. Akan tetapi, dalam puisi Telepon Genggam yang saya kutip tersebut, tampaknya lebih kompleks. Semacam ekstase penyair yang memiliki kecenderungan serupa parodi dengan imaji visual lewat penglihatan. Meski berserakan metafor dan personifikasi sebagai pijakan paling pertama dalam merangsang pembaca. Metafor dalam menggambarkan bagaimana indra menangkap memori yang direkam mata, sedangkan personofikasi membangkitkan seolah-olah “telepon genggam” sebagai benda mati disulap menjadi benda hidup: bisa bergerak, mengeluh, memanggil, dan semacamnya. Begitulah misteri dan kejutan-kejutan dalam proses kreatif Joko Pinurbo.
*Triboute untuk Joko Pinurbo, yang akhir-akhir ini kesehatannya mulai menurun. Semoga lekas sembuh dan beraktivitas sebagaimana mestinya.