Cerpen Negeri Para Pengemis

Ada dua golongan penduduk kota. Golongan pertama adalah golongan menengah ke atas, yaitu pejabat, aparat, pengusaha, pedagang, guru, dan setiap orang yang punya pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Golongan kedua adalah mereka disebut golongan pertama sebagai golongan bawah. Mereka adalah tukang sampah, pemulung, pengemis, pengamen, penjual koran, dan setiap penduduk yang tidak punya pekerjaan atau tidak punya penghasilan yang cukup.

Makin hari, makin banyak pengemis di jalanan Kota B. Mereka tersebar di seluruh penjuru kota: lampu merah, depan restoran, emperan toko, lorong pasar, dan tempat ibadah. Sebentar lagi, pengemis akan menguasai Kota B dan dengan bangga mengenalkan kota ini sebagai kota pengemis. Mereka yang malas bekerja akan meminta-minta, bahkan tidak segan memaksa. Mereka akan membuat orang-orang golongan bawah yang lain menjadi iri karena mereka yang bekerja tidak lebih baik hidupnya dari tukang minta-minta.

“Izinkan aku menjadi pengemis!” pinta si adik yang begitu ingin hidup mudah dengan menjadi pengemis.

“Aku lebih baik mati daripada harus mengizinkanmu meminta-minta di jalan. Tak akan pernah,” timpal si kakak.

“Harus berapa kali kujelaskan, mengemis jauh lebih menghasilkan daripada pekerjaanmu itu.”

“Setidaknya aku tidak menjatuhkan harga diriku untuk setiap dua ribu rupiah.”

“Kau bisa saja mendapat lebih jika mau.”

Baginya, hidup sudah terlalu sulit untuk diterjemahkan dengan bekerja. Ia lelah setiap hari harus berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya demi mengais sisa-sisa. Tak ada hari libur di dalam kamusnya. Tak boleh ada kata malas di dalam otaknya. Malas artinya mengundang kematian mendekat. Apalagi libur, itu sama saja merencanakan pembunuhan pelan-pelan pada dirinya sendiri.

Setelah menempuh puluhan kilometer, perutnya masih belum sekenyang mereka yang duduk dan bermalas-malasan. Itulah yang membuatnya semakin bersikeras mengemis. Di matanya, mengemis juga sebuah pekerjaan. Di medium yang lain, orang-orang juga mengemis. Bedanya, penghasilan mereka jauh lebih besar. Pengemis jenis ini sedikit harus mengeluarkan modal. Bahkan mereka mengemis pada orang-orang yang menganggur. Itu jauh lebih hina. Namun, keinginannya itu ditentang keras oleh kakaknya. Kakaknya telah merawatnya sejak kecil. Dialah yang harus mengarang cerita bagaimana ibu dan bapak mereka tiada.

“Ibumu mati karena melahirkanmu. Bapakmu kawin lagi dengan janda di luar pulau.”

“Kenapa kita tidak mencarinya saja ke sana?”

“Untuk apa menghabiskan ongkos untuk mencari orang tidak waras. Lebih baik uang itu untuk makan,” ujar si kakak dengan tegas.

Adapun fakta tentang kedua orangtuanya tak ada yang tahu. Hanya kakaknya dan Tuhan yang tahu. Mungkin sudah sejak lama dikuburnya kenangan itu dalam-dalam. Sesekali ingatannya muncul dan membuatnya bersedih. Ketika itu pula si adik akan memeluknya. Sebelum akhirnya mereka kembali bertengkar soal mengemis.

“Ayolah, aku sudah lelah menarik gerobak. Aku cukup layak untuk dikasihani orang-orang golongan atas.”

“Untuk apa meminta belas kasih. Jika memang mereka benar peduli pada orang lain, bukankah seharusnya tidak ada peminta-minta dan orang seperti kita?”

Perdebatan yang akan menahan rasa iba dan rasa saling memiliki itu akan berakhir ketika salah satu dari mereka mulai kembali berjalan. Si kakak akan berjalan di depan menarik gerobak, si adik akan mengikutinya di belakang. Mereka akan saling bergantian menarik gerobak.

“Kau tidak perlu menarik gerobak lagi jika kau mengizinkanku mengemis.”

“Lebih baik aku menarik gerobak sampai kakiku patah daripada melihatmu mengemis.”

“Kau hanya perlu memberikanku izin. Kau tidak perlu melakukannya. Itu tidak akan menjatuhkan harga dirimu.”

“Aku kakakmu. Aku masih mampu memberimu makan, tempat berteduh, dan mengajarimu untuk tidak meminta-minta,” si kakak terdengar setengah menangis.

Mendengar perkataan itu, si adik mulai berpikir dua kali untuk nekat mengemis. Hasil mengemis di negara ini terlalu menggiurkan. Orang-orang melakukannya dengan berbagai cara dan baginya itu cara termudah untuk mendapat uang.

“Jika kau lelah dengan pekerjaan ini, kau tak perlu ikut aku. Pulanglah dan tidur saja.”

“Aku bukan pemalas. Lagi pula tidur tidak membuatku kenyang,” si adik menolak dengan keras.

Dia sebenarnya ingin sekali pulang dan bergabung dengan pengemis lain di dekat lampu lalu lintas, menodong orang-orang golongan atas dengan rasa kasihan. Akan tetapi, dia tidak mungkin meninggalkan kakaknya menarik gerobak sendirian. Itu hal terjahat yang bisa ia lakukan selain mengambil mobil mainan di halaman rumah yang ia lewati. Namun, ia kembalikan karena mencuri bukan bagian dari pekerjaannya.

“Kau boleh mengambilnya jika di tempat sampah.”

Mengemis bukan bagian dari kejahatan. Itu bukan tindakan kriminal. Tak ada hukum yang mengaturnya di negara ini. Negara ini memfasilitasinya dengan menciptakan manusia-manusia yang mudah iba dan tak enakan. Sementara itu, di medium lain, kita akan mendapati orang-orang mengemis dengan berbagai cara. Setidaknya itu lebih baik daripada mencuri ataupun menipu. Negara ini hanya tidak ramah terhadap mereka pada hari libur.

Mereka akan beristirahat jika merasa sudah sangat lelah. Jika gerobak sudah penuh, mereka akan pulang. Jika gerobak hanya terisi separuh, mereka akan bermalam di kolong jalan layang. Cukup banyak kolong jalan layang di kota ini yang layak untuk dijadikan tempat berteduh ketika hujan atau tidur pada malam hari.

“Ini hari apa?” tanya si kakak.

“Minggu, mungkin.”

“Dari mana kau tahu?”

“Tak ada anak-anak berangkat sekolah,” jawab si adik yang sudah bangun lebih dulu.

“Kita harus segera berjalan sebelum aparat menemukan kita di sini,” si kakak tampak gelisah.

Di negara ini, tepatnya di kota tempat mereka hidup, aparat akan berkeliling kota pada hari-hari libur. Mereka mencari gelandangan, pengemis, dan orang-orang yang dianggap mengganggu ketertiban di setiap sudut kota untuk diangkut dan dipindahkan ke kota lain diam-diam. Kira-kira begitulah yang terjadi, si kakak juga dulu adalah buangan dari kota lain. Sebagai buangan, si kakak tidak ingin terbuang lagi dan memulai semuanya dari awal dengan lebih sulit. Sebab tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kota-kota tempat mereka dibuang.

“Kita akan pulang.”

“Tapi, gerobak kita belum penuh,” si adik kebingungan.

"Kita akan memenuhinya. Kemarin aku melihat ada pesta. Mungkin saja ada sisa-sisa yang bisa kita pungut.”

Pesta adalah anugerah. Mereka bisa memenuhi gerobak, dan bila beruntung, mereka bisa makan gratis. Orang-orang di kota ini suka membuang-buang makanan. Mata mereka lebih lapar dari perutnya. Banyak makanan yang masih utuh meskipun agak sedikit basi.

Gerobak sudah penuh, perut cukup terisi, dan mereka aman dari aparat. Mereka berjalan pulang dan sebelum itu mereka akan ke tempat penukaran. Mereka akan dibayar sesuai dengan jumlah timbangan isi gerobaknya. Satu gerobak mungkin lebih dari 20 kilogram dan untuk itu mereka dibayar 40 ribu. Ya, hanya 40 ribu untuk dua hari berjalan. Hidup terasa sangat tidak adil memang. Apalagi di perjalanan pulang, para pengemis akan meminta hak mereka sebagai pemalas yang fakir.

Terkadang mereka juga menyaksikan pengemis yang tertangkap dan sedang dipaksa masuk ke dalam mobil untuk dibuang entah ke mana. Rata-rata dari mereka adalah anak-anak seusia si adik. Mereka akan tumbuh terpisah dari orang tua mereka yang duduk dan menyuruh mereka mengemis. Meskipun ada pula tua renta yang tertangkap dan akan menghabisi umurnya tanpa sepengetahuan anak-anak mereka yang sedang berbaring menunggu mereka pulang.

Kelak kau akan melihat di kota lain mereka menjadi pemulung, tukang sampah, atau penjual koran. Mereka yang pemalas akan tetap mengemis, meskipun diam-diam dan beralih di medium yang lain.