Esai Menangkap Kekuatan dari Bunyi Instrumen (Catatan Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Provinsi NTB Tahun 2024)

Andrea Amati meyakini bahwa selo yang ia ciptakan tidak hanya sekadar alat musik. Di atas punggung meja kayu, ia memainkan karya Brahms, "Cello Sonata No. 1" dengan segala bentuk keagungan dan kemanusiaan yang merambat penuh kemuraman di gang-gang sempit itu. Akan tetapi, sebenarnya bukan itu yang hendak ia sampaikan, melainkan suatu hari kelak, semua umat di dunia ini benar-benar menginginkan suatu nilai hidup yang lebih bermakna. Sebuah instrumen hanya pengantar sederhana dalam kelengkapan yang lebih rumit.

Pada karya "Tusuk Gigi" (Soni Farid Maulana) dan "Soneta Laut" (Subagio Sastrowardoyo), instrumen biola dan selo mampu menangkap tidak saja kedalaman puisi. Namun, menyingkap serta menangkap geliat teks yang terkadang penuh keliaran dan emosi. Begitu pula nilai kemanusiaan yang bergerak dalam sunyi.

_Jika alamat tak menjamin
datangnya surat ditunggu
sedang dari jauh terdengar
sayup kepak-kepak rindu
Aku ingin sendiri dengan laut_

Pada penggarapan musikalisasi puisi, seorang musisi adalah reinterpretator (penafsir ulang) yang berhadapan dengan karya puisi. Bagaimana ia memilih pisau bedah untuk menganalisis puisi agar tersaji secara proporsional. Tak ada yang tersakiti, apalagi terbunuh, baik itu puisi maupun musik ketika hadir menjadi karya baru dalam format musikalisasi puisi.

"Apakah setiap instrumen harus dari alat musik?"

Pertanyaan itu terbantahkan. Manakala seorang musisi menghadirkan sebuah alat, seperti sebuah gergaji. Tentu saja pemilihan sebuah alat noninstrumen sah-sah saja, sejauh tidak terjebak pada teks atau makna dalam sebuah puisi. Karena yang terpenting, ia menjadi satu kesatuan yang utuh (unity) dalam karya yang diusung. Konteks di atas, nampak pada karya SMAN 1 Selong, yang mengangkat puisi wajib "Tusuk Gigi" (Soni Farid Maulana).

Ia, gergaji kayu itu, hanya hadir sebatas untuk bebunyian, seakan-akan gergaji itu beroposisi dengan teks-teks yang lain. Atau, ia terjebak pada teks yang terasa verbal itu. Bukan keutuhan dari sebuah karya musikalisasi puisi.

_Tapi hutan demi hutan lenyap sudah
Dengus gergaji kiranya
Bikin beragam hewan mengungsi
Ke dalam buku catatan biologi_

Idealnya, ia merupakan satu kesatuan yang menghidupkan nyawa dari puisi itu sendiri sehingga ada kesan gergaji hanya bicara tentang eksploitasi hutan. Padahal, ia juga bisa mewakili keserakahan manusia, sunyi yang membungkus emosi. Dengus gergaji menjadi sebentuk sikap yang tak terbantahkan atau terkalahkan.

"Bukankah, dalam keseharian kita kerap menemukan identitas itu pada setiap yang hidup di muka bumi?"

Namun, secara utuh saya menikmati kedua karya dari kedua sekolah itu, terutama pada materi yang diusung SMAN 5 Mataram.

Konsep minimalis dan padat itu mampu membawa sebuah penafsiran musikalisasi puisi secara utuh. Keberanian membawakan puisi "Tusuk Gigi" dengan teknik staccato (serangkaian nada pendek-pendek, putus-putus) tanpa terpeleset pemenggalan frasa pada puisi itu sendiri. Justru sebaliknya, teks-teks puisi hidup secara utuh mengalir, meskipun alat yang dibawakan berupa instrumen akustik.

Mungkin, ada satu catatan yang perlu disikapi. Sebuah visual pertunjukan musikalisasi puisi bukan sekadar bernyanyi dan memainkan alat musik. Namun, secara kejiwaan, setiap pengusung harus mampu menjiwai dengan tulus dan jujur.
Alat instrumen tidak hanya dipegang, tetapi menjadi gagasan lain untuk mengangkat emosi si penyanyi. Penjiwaan yang proporsional itu saya yakin akan lebih menguatkan secara visual pertunjukan. Demikian kegelisahan saya kemarin sore.